Diskriminasi
merupakan bentuk ketidakadilan. Ketidakadilan tersebut terwujud dalam pembedaan
perlakuan hukum terhadap sesama warga negara, berdasarkan warna kulit, golongan, suku, etnis, agama,
jenis kelamin (gender) dan sebagainya. Diskriminasi dalam praktik dapat terjadi
secara eksplisit ataupun secara terselubung. Peraturan perundang-undangan yang membeda-bedakan warga negara merupakan
bentuk diskriminasi yang terbuka. Namun
yang terbanyak adalah diskriminasi terselubung dalam bentuk pemberlakuan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berbeda-beda terhadap
warga negara yang pada akhirnya melahirkan ketidakadilan.
Perlakuan
diskriminasi sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 beserta
amandemennya. UUD 1945 yang secara tegas mengutamakan kesetaraan dan keadilan
dalam kehidupan bermasyarakat baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya,
hukum dan bidang kemasyarakatan lainnya. Untuk itu UUD 1945 beserta
amendemennya sangat penting untuk menjadi acuan universal para penyelenggara
negara dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Kendala
pelaksanaan penyesuaian dan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional.
Dalam pelaksanaannya benturan kepentingan, tumpang tindih pengaturan dan
kepentingan sektoral lebih mendominasi upaya penyesuaian berbagai peraturan
perundang-undangan nasional yang terkait dengan berbagai bentuk diskriminasi,
sehingga menghambat upaya minimalisasi perlakuan diskriminasi terhadap warga
negara pada berbagai bidang kehidupan.
Penegakan
hukum dan kepastian hukum dalam rangka minimalisasi perlakuan diskriminasi.
Sampai dengan saat ini hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) merupakan
satu-satunya landasan hukum bagi para penyelenggara negara untuk menjalankan
kehidupan bernegara dan berbangsa. Dari sisi kuantitas, peraturan
perundang-undangan yang dihasilkan setiap tahunnya cukup banyak, namun dari
sisi kualitas cukup banyak ditemui pengaturan yang mengandung perlakuan
diskriminasi antara lain yang terkait dengan pengaturan di bidang
kewarganegaraan, keimigrasian, usaha kecil, kesehatan dan perkawinan.
Peran lembaga peradilan sangat signifikan
untuk meminimalisasi terjadinya perlakuan diskriminasi terhadap setiap warga
negara. Kewibawaan lembaga dan sistem peradilan di Indonesia saat ini menjadi
sorotan masyarakat. Karena keberhasilan pembangunan untuk menciptakan
masyarakat yang sejahtera ditentukan oleh seberapa jauh sistem hukum yang berlaku
ditegakkan dengan konsisten dan adil. Upaya menggerakkan perekonomian,
penciptaan lapangan pekerjaan, maupun penghapusan kemiskinan tidak akan
memperoleh hasil yang memuaskan apabila diskriminasi masih terjadi dan keadilan
masih berpihak kepada siapa kuat, bukan berpihak pada kebenaran.
Sesuai dengan fungsinya setiap penyelenggara
negara harus mempunyai kesadaran dan komitmen
bahwa dalam menjalankan penyelenggaraan negara tidak boleh ada perlakuan
diskriminasi pada setiap warga negaranya sebagaimana tertuang dalam UUD 1945
Pasal 27 ayat (1). Hal ini juga berarti bahwa di Indonesia tidak boleh ada perlakuan diskriminasi di berbagai
bidang kehidupan. Pelayanan publik sebagai salah satu fungsi
utama penyelenggara negara dalam lingkup Eksekutif harus benar-benar menjunjung
tinggi asas kedudukan yang sama bagi setiap warga negara di hadapan hukum,
menegakkan hukum dengan adil dalam arti tidak ada pembedaan baik dari warna
kulit, golongan, suku, etnis, agama dan jenis kelamin; dan apabila dalam
pelaksanaannya terhadap peraturan perundang-undangan yang bersifat
diskriminatif dan melanggar prinsip keadilan harus berani ditindaklanjuti
dengan langkah menghapus dan/atau melakukan berbagai perubahan.
Pelaksana peraturan perundang-undangan
memegang peranan yang sangat menentukan. Walaupun peraturan perundang-undangan
yang dibuat telah dipersiapkan dengan baik, namun manusia yang berada di
belakang peraturan tersebut sangat menentukan yaitu mereka yang menerapkan dan
menegakkan hukum serta yang memberikan pelayanan hukum. Dalam praktik,
perlakuan diskriminasi dialami oleh warga negara, lembaga/instansi pemerintah,
lembaga swasta/dunia usaha oleh aparat yang melakukan pelayanan publik.
Perlakuan diskriminasi tersebut pada akhirnya berujung pada praktik korupsi,
kolusi dan nepotisme. Hal tersebut terjadi karena pelaksana hukum (aparat)
cenderung dipandang lebih tinggi dari masyarakat yang membutuhkan pelayanan
publik. Kondisi tersebut sampai saat ini masih terus terjadi karena masih
terdapatnya kesenjangan antara pihak yang memerlukan dengan pihak yang
memberikan pelayanan publik.
Mengamati berita-berita seputar keadilan dan
perlakuan hukum di Indonesia belakangan ini, memunculkan banyak asumsi. Salah
satu asumsinya bahwa keadilan sulit ditegakan kalau uang dan kekuasaan bisa
menundukkan aparat hukum. Sebagai Muslim, tentu saja kita tidak berharap
demikian. Dalam Islam, masalah suap dalam hukum adalah perbuatan tercela.
Perihal suap Rasulullah saw bersabda: “Tidak
pantas seorang petugas yang kami utus datang dan berkata, ‘Ini untuk Anda,
sementara ini adalah hadiah yang diberikan untuk saya.’ Mengapa ia tidak
duduk-duduk saja di rumah bapak dan ibunya, lalu memperhatikan, apakah ia akan
mendapatkan hadiah atau tidak?!” [HR al-Bukhâri, Muslim, Ahmad, dan Abû
Dawud].
Sabda Rasulullah tentang suap berkorelasi dengan
penetapan hukum dan keadilan di sebuah negara, seperti yang disebutkan dalam QS
an-Nisâ’ [4]: 58, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan [menyuruh kamu] apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Ayat tersebut mengingatkan bahwa kita harus berusaha
menjunjung keadilan, khususnya dalam masalah hukum, tanpa pandang bulu, tanpa
melihat si kaya dan si miskin. Di Mata Allah, manusia punya derajat yang sama.
Pada saat ini juga banyak terjadi peristiwa-peristiwa
hukum dalam suatu peradilan yang selalu memihak kepada orang yang mempunyai
kekuasaan atau mempunyai uang. hal itu merupakan suatu kejadian yang memalukan
bagi Negara Indonesia dimana hukum dapat di beli dengan uang, bukan sebagai
suatu aturan yang harus ditaati dan di hormati. Mengingat Negara Indonesia adalah
negara hokum. Hal ini tertuang secara jelas dalam pasal 1ayat (3) UUD 1945
Perubahan ketiga yang berbunyi” Negara Indonesia adalah Negara hokum”.
artinya,Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara yang berdasar atas
hokum (rechstaat), tidak berdasar atas kekuasaan (machstaat), dan pemerintah
berdasarkan sistem konstitusi (hokum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang
tiada batas)
Melihat relitas sosial tersebut merupakan hal yang
menarik untuk dibahas. Dimana diskriminasi harus dihapuskan dan kedudukan warga
Negara Indonesia adalah sejajar dan sederajat. Dengan latar belakang inilah
yang mendorong penulis memberi judul “Diskriminasi Warga Negara Di Dalam Hukum
Dan Proses Peradilan Di Indonesia”
No Response to "“Diskriminasi Warga Negara Di Dalam Hukum Dan Proses Peradilan Di Indonesia”"
Posting Komentar